Suartaya yang sering memperkuat tim kesenian Bali untuk mengadakan pentas ke mancanegara menambahkan, seni pertunjukan sejenis Gandrung banyak dijumpai di Nusantara.
"Kesenian itu masih satu genre dengan Ketuktilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah maupun Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan)," tutur Suartaya.
Penampilannya senantiasa disertai unsur-unsur erotisme seperti juga dalam tari Ronggeng di Jawa Barat dan juga Joged Bumbung di Bali.
Pada masa lalu, penari Gandrung memang banyak mengundang debur asmara kaum pria, padahal para penari Gandrung itu sendiri adalah laki-laki.
Di Banyuwangi kesenian Gandrung pada awalnya dilakoni oleh kaum pria, setidaknya hingga tahun 1890-an. Baru pada tahun 1914 penari wanita dihadirkan setelah kematian penari pria terakhir, Marsam. Gandrung wanita pertama Banyuwangi bernama Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan yang berkaul jika sembuh akan menjadi penari Gandrung.
Berbeda dengan di Banyuwangi, di Bali hingga kini tari Gandrung masih dibawakan penari laki-laki. Salah satu grup seni pertunjukan Gandrung yang masih bertahan adalah Sekaa Gandrung Banjar Ketapian Kelod, Denpasar, masih mempertahankan penari pria.
Kesenian Gandrung yang disakralkan oleh komunitasnya itu lebih menampilkan diri sebagai presentasi estetik. Melalui iringan musik bambu yang disebut gandrangan, Gandrung Bali menyuguhkan raga keindahan tari yang lazim dijumpai dalam tari klasik Legong Keraton.
Suartaya menambahkan, seperti halnya di Banyuwangi, diduga kuat tari Gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria.
Gandrung Lombok yang kini lazim dibawakan kaum wanita itu masih eksis sebagai sajian profan, menampakkan karakter Bali dan Banyuwangi.
Tarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu.
Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.
Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung.
Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu.
Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari.
Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya.
Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu.
Pelanggaran
Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.
Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.
Suara Temu menjadi bagian eksotisme "Timur" yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar.
Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme—diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural—menemukan, CD Temu "Songs Before Dawn" (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping.
Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan "Songs Before Dawn" sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ.
Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial.
Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari.
Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.
Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat "internasional" itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu.
"Lha saya bisa apa?" itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. "Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup."
Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. "Malas nggodok wedang. Capek," katanya.
Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya "Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he…."
Jalan Hidup
Sejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk.
Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, "Jadikan dia gandrung kalau sudah besar."
Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun 1950-an.
"Mula-mula takut," kenangnya.
Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton.
Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. "Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar," katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam!
Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.
Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung.
Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu.
Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari.
Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya.
Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu.
Pelanggaran
Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.
Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.
Suara Temu menjadi bagian eksotisme "Timur" yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar.
Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme—diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural—menemukan, CD Temu "Songs Before Dawn" (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping.
Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan "Songs Before Dawn" sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ.
Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial.
Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari.
Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.
Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat "internasional" itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu.
"Lha saya bisa apa?" itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. "Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup."
Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. "Malas nggodok wedang. Capek," katanya.
Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya "Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he…."
Jalan Hidup
Sejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk.
Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, "Jadikan dia gandrung kalau sudah besar."
Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun 1950-an.
"Mula-mula takut," kenangnya.
Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton.
Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. "Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar," katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam!
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.
Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.
Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.
Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
Bagian Bawah
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.
by : zainul-ali.blogspot.com
penari gandrung yang paling bawah siapa ya namanya?
BalasHapusSwiming is the best exercise in summer and running in winter
BalasHapusQU-IT & QU